Tanpa ada proses apapun sebelumnya, persada Indonesia mendadak dihebohkan oleh legenda hidup Dukun Cilik Ponari. Bak kisah pewayangan, seorang bocah yang baru duduk di bangku kelas tiga SD ini tiba-tiba resmi dinobatkan sebagai Titisan Dewa Petir setelah dia dikabarkan berhasil menyembuhkan adiknya sebelum kemudian banyak orang lain dengan air yang dicelupi batu yang diperolehnya ketika hampir tersambar petir.
Setiap harinya puluhan ribu orang datang berbondong-bondong ke rumahnya yang terletak di sebuah dusun di Jombang, Jatim. Tak tanggung-tanggung, pasien ada yang datang dari Irian dan Maluku. Semuanya dengan membawa satu keinginan; sembuh dari penyakit, termasuk mungkin penyakit gagal jodoh, gagal caleg, gagal profesi, gagal akademik, gagal karir, dan gagal-gagal lainnya, mengingat tidak semua pengantre dipapah atau berjalan sempoyongan.
Sebagian pasien malah bertampang semi perlente, atau malah jangan-jangan ada banyak oknum dokter atau kiai yang ikut "menyusup" ke sana.
Demi itu, mereka rela antre seharian atau bahkan menginap di sana tanpa mempedulikan gempuran berita di berbagai media bahwa sudah sekian orang tewas akibat berdesakan dan terinjak oleh sesama pengantre. Bagi mereka, toh antre seperti itu sudah menjadi semacam bagian dari syarat untuk bisa survive di atas bumi Indonesia. Jangankan untuk kesembuhan, untuk minyak tanah saja mereka masih rela antre berjam-jam sejak pagi buta hingga sore daripada harus bernostalgia lagi dengan kayu bakar. Hebatnya lagi, para pemburu air celupan batu yang dinamai Watu Geludug itu bukan hanya wong cilik, tetapi juga tak jarang dari kalangan papan atas.
Beragam komentarpun bermunculan di media cetak dan elektronik, dari ulama, akademis, aktivis, hingga artis. Banyak yang prihatin tapi tak berani atau sekadar "tak sampai hati" untuk blak-blakan mencemooh aksi massa pemburu kesembuhan itu. Di kalangan ulama, hampir tidak ada yang dengan tegas menyatakan bahwa aksi para Ponari Manian itu menjurus kepada syirik. Yang ada hanyalah isyarat supaya masyarakat berhati-hati agar tidak terjerumus pada syirik. Sedangkan kalangan akademis kedokteran lebih banyak memfokuskan komentarnya pada faktor sugesti masyarakat dan kalangan aktivis peduli hak anak kecil semisal Kak Seto lebih berkomentar hanya pada nasib Ponari yang justru malang dan sial sejak dielu-elukan sebagai Titisan Dewa Petir karena dia tak dapat lagi bersekolah dan bermain akibat "dikepung massa".
Dari situ, fenomena Dukun Cilik Ponari menjadi lebih dari sekadar unik dan menarik. Pasalnya, di balik fenomena antre demi kesembuhan ini terdapat sederet isu krusial yang juga antre untuk dikomentari -meski tidak harus selalu dengan nada serius- dari aspek keilmuan hingga aspek sosio-kultural, ekonomi, dan religi.
Faktor Sugesti
Dalam konteks keilmuan, komentar para akademis kedokteran sangat jelas. Kata mereka, kalaupun memang terjadi kesembuhan, maka faktornya adalah sugesti, yaitu faktor yang memang diakui ampuh untuk mengurangi atau bahkan menyembuhkan penyakit, atau hanya sekadar "membius" rasa sakit seseorang.
Bagi mereka, anggapan bahwa Ponari dan Watu Geludugnya adalah satu kelebihan yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada manusia hanyalah wacana yang boleh dicamkan sejenak saja dan tak perlu dibawa-bawa hingga ke kamar tidur.
Logika empirik tak mengizinkan mereka untuk bermain mata dengan muatan dogma-dogma kultural-religius yang tak dapat diverifikasi di laboratorium. Mereka pasti hanya tersenyum kecut mendengar "testimoni" para pasien Dukun Ponari bahwa mereka sembuh setelah meneguk air kehidupan Dewa Petir.
Pemberontakan Wong Cilik
Dari aspek sosio ekonomi, bukan tanpa alasan ketika orang menyorotnya sebagai lebih dari sekadar upaya mencari penyembuhan alternatif, melainkan sebagai pemberontakan masyarakat terhadap arogansi dunia medis, kedokteran, dan farmasi. Bagi masyarakat kebanyakan, ruang praktik dokter dan apotik terkadang lebih angker dari ancaman penyakit itu sendiri. Tak sulit untuk mencari indikasi adanya kecenderungan masyarakat membiarkan anggota keluarganya sendiri yang sakit, apalagi orangtua mereka yang ditengarai sudah "berbau tanah" dan merepotkan, disambar maut daripada harus memindah tabungan mereka dari bank ke kasir rumah sakit dan apotik demi secuil kesembuhan.
Celakanya lagi, RS juga dihuni oleh makhluk-makhluk yang lebih menyeramkan dari suster ngesot. Mereka adalah para mafia kesehatan dan farmasi, dari dokter, mantri, perawat, apoteker, hingga petugas administrasi dan tukang sapu. Di RSUD Dr. Soetomo, Surabaya, misalnya, para mafia itu bergentayangan di berbagai sudut serta memiliki 1001 modus untuk mengincar isi kocek pasien yang ingin segera mendapat perawatan atau sekadar diagnosa tanpa harus menunggu giliran hingga berhari-hari. Para mafia itu bahkan menebar jaringnya hingga ke warga sekitar RS, terutama para pemilik rumah-rumah kost pasien yang datang dari luar kota dan belum tertampung di RS. Warga tertentu sekitar RS itu bisa atau dibisakan berbuat lebih dari wewenang petugas resepsionis dan informasi RS. Urusan Anda di RS dijamin akan serba kilat jika Anda 'apresiatif' terhadap 'pengabdian' mereka.
Di tengah ketatnya lingkaran setan ini, tak aneh apabila antrean superkolosal di sekitar rumah Ponari justru menjadi ajang tebar sumringah wong cilik. Sorot mata mereka terhadap wajah polos Ponari lebih menyerupai tatapan me-sianistik proletar terhadap sosok Satrio Piningit dengan darah yang tak perlu berwarna biru
Betapapun demikian, 'aksi massal' kaum Ponari Mania itu tentu tidak mesti berarti pemberontakan. Karena bukan tak mungkin sebagian orang yang rela antre hingga berhari-hari itu hanya sekadar menuruti dorongan rasa penasaran. Pikiran "jangan-jangan memang ampuh" bahkan sering menjadi godaan utama masyarakat yang mudah terpikat pada praktik perdukunan, baik yang berlevel lokal maupun yang bertaraf nasional semisal praktik Ponari. Tak semua pengantre benar-benar peminat magis dan paranormal. Sebab itu, jika memang banyak pasien yang sembuh maka asumsi sugesti sebagai faktor tunggal menurut kacamata ilmu pengetahuan mungkin masih perlu didiskusikan lagi, karena sugesti hanya akan timbul dari dominasi harapan ketimbang sekadar pelampiasan rasa penasaran.
Warning Politeisme
Yang tak kalah serunya lagi adalah pandangan agamawan terhadap Ponari Mania. Ada rasa gamang di tengah kaum agamawan. Para alim ulama diam-diam menyimpan kerisauan yang tak kalah dahsyatnya dengan kaum akademis. Warning terhadap kemungkinan terperosoknya para pasien proletar itu kepada politeisme (syirik) terpantul di berbagai media, meski tak seberapa memekakkan telinga karena mungkin para ulama khawatir akan terjebak pada tindakan kontraproduktif ketika 'umat' sedang 'tersihir' oleh Titisan Dewa Petir yang juga dikeramatkan sebagai pengemban amanat wangsit Ki Ageng Selo tersebut.
Minimnya pemahaman fenomena "Ponari" bisa dilihat di Google. Silahkan googling dengan Keyword "Ponari" maka akan didapat banyak gambar plesetan "Ponari Sweat"
Namun begitu, kecuali yang berhaluan Wahabisme yang dianut kerajaan Arab Saudi, kebanyakan agamawan di Indonesia tidak serta merta mengumbar stigma syirik. Kriteria paham sesat yang dalam Islam tak mungkin bersanding dengan kata ampunan (maghfirah) tersebut harus dikaji secara lebih cermat dan ekstra hati-hati bukan saja demi menghindari kecamuk pro-kontra (fitnah) yang jelas lebih destruktif dan kontraproduktif, tetapi justru demi memberikan pemahaman soal Tauhid dan syirik secara lebih akurat, logis, dan proporsional.
Paham Wahabisme yang memang kurang familier dengan judul-judul lain kecuali syirik dan bid'ah sebaiknya dinon-aktifkan dari agenda keumatan di Indonesia, negeri yang mayoritas Muslimnya memang memiliki perbedaan persepsi yang cukup substansial dengan mayoritas Muslim di negeri Haramain perihal bid'ah dan syirik.
Sebab itu, meski tanpa penjelasan teologis yang teoritis dan abstrak, seorang da'i muda dan kondang di sebuah channel televisi kita hanya berkomentar bahwa syirik atau tidaknya peminat Watu Geludug harus ditengarai dari persepsi orang yang bersangkutan terhadap Ponari dan batu saktinya tersebut. Singkatnya, jika peminat beranggapan bahwa Ponari dan jimat penyembuhnya itu hanyalah sekadar makhluk Allah yang "kebetulan" mendapat anugerah dan kekuatan Ilahi untuk umat manusia, maka itu sah-sah saja alias tidak tergolong syirik, apalagi Ponari kebetulan bocah yang masih polos dan belum kapabel untuk menjadi kolektor dosa.
Fenomena "mukjizat" ala "Ponari" sebenarnya sering terjadi disekitar kita (indonesia), dangkalnya pemahaman yg berujung pada Penyesatan / Pengkafiran dengan dakwaan "Musyrik" adalah tidak bijak!! (redaksi)
"Pucuk daun jambu saja bisa menjadi obat mujarab koq, apalagi manusia", kata Sang Da'i enteng tanpa memperhatikan bahwa daun jambu masih bisa dilaboratoriumkan di pusat-pusat kesehatan herbal, sedangkan Watu geludug mungkin hanya bisa dipelototi oleh pakar geofisika, geolog, dan sebagainya, kalau bukan pengrajin akik, kecuali jika persentuhan elemen Watu Geludug dan elemen tangan Ponari berpotensi untuk "dicurigai" dapat menghasilkan energi magnetis, elektrik, atomik, atau apapun namanya. "Sebaliknya," lanjut Sang Da'i, "Jika Ponari dan batu ajaibnya itu dipandang memiliki kekuatan magis supranatural secara terpisah dari Allah, maka pandangan ini jelas syirik."
Beranjak dari sekelumit pencerahan religi ini, sulit membayangkan pasien Muslim Dukun Cilik Ponari memilih opsi kedua yang berkoneksi langsung dengan paham syirik tersebut. Karena itu, fenomena Ponari Mania memang harus disikapi secara lebih proporsional. Mungkin tak perlu ada kekhawatiran secara berlebihan, meskipun harus tetap dipagari dengan upaya para ulama, intelektual, da'i, dan tokoh masyarakat agar umat tidak terjebak pada paham dan asumsi-asumsi bercorak animisme, politeisme, ateisme, dan seterusnya.
Ponari Mania harus dikawal secara lebih akurat dan realistis agar kelak tidak sampai bermutasi menjadi paham-paham mesianisme sesat semisal sekte Kerajaan Eden, ajaran Satrio Piningit, dan paham Al-Qiyadah al-Islamiyah. Betapapun absurdnya jika ditinjau dengan akal sehat, praktik perdukunan Ponari sudah menjadi realitas konkrit yang diterima oleh khalayak di Tanah Air, yaitu sebuah komunitas masyarakat yang dari balita hingga lansia sudah terbiasa dengan asupan-asupan irasionalistik akibat foklor dan takhayul. Tragisnya, kondisi ini dilestarikan secara hiperkreatif oleh televisi dalam tayangan-tayangan sinetron, show, dan iklan-iklan pembodohan reg spasi ini dan itu. Media ikut menyumbang pemaksakan kondisi abnormal ini di Tanah Air sehingga media tak perlu berlagak geli menyaksikan betapa di tengah peradaban yang serba posmo ini banyak saudara setanah air kita yang tak segan-segan 'membaptis' dirinya dengan air comberan Sang Titisan. Ada yang lebih fatal dan ekstrem dari ini?! mm,ml (adil)
19 Mei 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar